- Senin, 8 September 2025
Bermula Dari Kias “Kusuik Salasai Karuah Janiah” Hingga Beberapa Bentuk Turunannya

Bermula dari Kias “Kusuik salasai karuah janiah”
Hingga Beberapa Bentuk Turunannya
Oleh: Lindawati*
Orang Minang meyakini bahwa tidak ada persoalan yang berat, sehingga tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Persoalan seberat apapun dalam sebuah organisasi, jika dipimpin oleh seorang yang pintar dan bijaksana dan apabila setiap orang yang ada dalam organisasi itu bersikap taat dan rendah hati, maka persoalan itu dapat diselesaikan. Hal itu juga dinyatakan dalam beberapa peribahasa yang saling berhubungan. Bunyi peribahasa itu adalah: (a) Kusuik salasai, karuah janiah. ‘Kusut selesai, keruh jernih.’ (b) Dek inyo indak ado kusuik nan indak kasalasai do, indak ado karuah nan indak ka janiah. ‘Oleh dia tidak ada kusut yang tidak sesesai, tidak ada keruh yang tidak jernih.’ (c) Kini, kusuik kami mintak disalasaikan, karuah kami mintak dijaniahan. ‘Sekarang, kusuik kami minta (k) disalasaian, keruh kami minta dijernihkan.’ (d) Dek ambo, asa kusuik lai salasai, karuah lai janiah, barang baban dijujuang, kok indak kayu janjang dikapiang malah. ‘Bagi saya, asal kusut bisa selesai, keruh bisa jernih, apapun tugas akan dilaksanakan, seberapapun biayanya akan diupayakan.’ (e) Nyo, dikusuik mako salasai, dikaruah mako janiah. ‘Hal itu, dikusut maka selesai, dikeruh maka jernih.’
Kelima peribahasa di atas berhubungan bentuk dan maknanya. Yang merupakan bentuk dasar adalah peribahasa (a) dan yang lainnya adalah bentuk turunan atau bentuk pengembangan. Pengembangan bentuk ini ditentukan oleh tema pembicaraan. Bila topiknya (maksudnya) meminta, maka digunakan bentuk(c) Kini, kusuik kami mintak disalasaikan, karuah kami mintak dijaniahan, kalau pujian pada seseorang digunakan bentuk (b) Dek inyo indak ado kusuik nan indak kasalasai do, indak ado karuah nan indak kajaniah. Pada mulanya, makna dasarnya adalah dari kusut menuju salasai dari keruh menuju jernih; upaya untuk menyelesaikan masalah. Bila sebaliknya yang terjadi dari kusut ke salasai, dari jernih ke keruh itu adalah pertanda buruk. Orang buruk budi membuat yang selesai menjadi kusut dan yang jernih menjadi keruh.
Turunan lain
Nan kusuik (lah)salasai, nan karuah (lah) janiah
Kusuik indak salasai, karuah indak janiah
Mangusuik, nan salasai, mangaruah nan janiah
Kusuik lai ka salasai, karuah lai ka janiah.
Indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak janiah
Sia mangusuik inyo manyalasaian, sia mangaruah inyo manjaniahan
Nan kusuik alun salasai, nan karuah alun janiah
Kusuik sia ka manyalasaian, karuah sia ka manjaniahan
Jan dikusuik nan salasai, jan dikaruah nan janiah
Usah dikusuik nan salasai, usah dikaruah nan janiah
Pangusuik nan salasai, pangaruah nan janiah
Kusuik bia nyo salasaian, karuah bia nyo janiahan
Kusuik nak salasai, karuah nak janiah
Kok kusuik beko bia nyo salasaikan
Dalam budaya Minang ada tiga tingkatan perselisihan/kekacauan (a) Kusuik bulu ayam, jo paruah manyalasaian. ‘Kusut bulu ayam, dengan paruh menyelesaikan.’ (b) Kusuik banang, dicari ujuangnyo untuak manyalasaian. ‘Kusut benang, dicari ujungnya untuk bisa menyelesaikan.’ (c) Kusuik sarang tampuo, parun jo api mako salasai. ‘Kusut sarang tampuo, dibakar barulah selesai.’ Kusuik bulu ayam merupakan pertengkaran antara dua orang atau antara dua kelompok yang keadannya tidak parah yang biasanya disebabkan oleh hal-hal yang sepele. Pertengkaran itu bisa diselesaikan dengan mudah dan yang akan menyelesaikan adalah pihak yang berselisih itu, sehingga peribahasa itu biasa disambung dengan jo paruah manyalasaian. Pertengkaran pada taraf Kusuik-kusuik bulu ayam ini biasa terjadi antara orang-orang yang berkerabat. Kalaupun harus ada pihak lain yang membantu menyelesaikan, biasanya yang diminta bantuannya adalah anggota kerabat itu sendiri, yang dalam hal ini mamaklah yang biasa mengambil peran ini.
Perselisihan pada tingkat Kusuik banang adalah perselisihan antara dua orang atau antara dua kelompok yang ada penyebabnya. Untuk menyelesaikannya perselisihan itu perlu dicari penyebabnya. Inilah isi ungkapan dicari ujuangnyo untuak manyalasaian. Setelah diketahui penyebabnya dan pihak yang bertengkar telah sama-sama memahami dan menyadari penyebab itu, barulah dicarikan jalan keluarnya. Setelah dicarikan penyelesaiannya berarti orang atau pihak yang berselisih harus kembali berdamai.
Perselisihan pada tingkat Kusuik sarang tampuo, parun jo api mako salasai adalah perselisihan atau suasana kacau yang sulit diketahui penyebabnya dan susah untuk menyelesaikannya dengan cara-cara biasa. Situasi yang sangat kacau itu biasanya disebabkan oleh karena adanya pertentangan beberapa pihak atau pertentangan itu disebabkan oleh beberapa faktor. Untuk dapat menyelesaikan masalah yang sangat rumit itu perlu tindakan yang luar biasa. Tindakan yang luar biasa itu dinyatakan dengan ungkapan parun jo api mako salasai ‘bakar dengan api hingga habis’. Masalah korupsi di Indonesia, situasi singkarutnya mungkin dapat dinyatakan dengan peribahasa Kusuik sarang tampuo. Untuk menyelesaikan persoalan ini perlu tindakan yang luar biasa yang tentunya tindakan yang bersifat revolusi.
Setelah semua perselisihan dengan berbagai tingkat kerumitannya itu diselesaikan, orang-orang yang bertengkar harus kembali bersatu untuk dapat melaksanakan apa yang telah direncanakan bersama untuk kemaslahatan bersama. Peristiwa berselisih dan kembali berdamai itu dalam kebudayaan Minang dinyatakan dengan peribahasa yang berbunyi: Biduak lalu kiambang batauik ‘biduk lewat kiambang bertaut’, artinya: pertengkaran habis, pihak yang bertikai kembali bersatu. Persatuan yang dimaksud dalam peribahasa Minangkabau adalah persatuan antara semua unsur, terutama persatuan antara pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya. Antara pemimpin dari kelompok yang satu dengan pemimpin dari kelompok yang lainnya.
Pemimpin dan orang yang dipimpinya harus harus bekerja sama. Kebersamaan antara pemimpin dengan yang dipimpin dinyatakan dalam analogi sebatang pohon. Dalam hal ini pohon yang dipakai sebagai analog adalah pohon anau atau pohon aren. Peribahasa itu berbunyi: Bapucuak bak jalo, batuntun bak anau, ka ateh sapucuak, ka bawah saurek, sarajo sadaulat, saundang sapusako, sautang sapiutang, taampa samo kariang, tarandam samo basah. ‘Berpucuk bagaikan jala, bertuntun bagaikan enau, ke atas sepucuk, ke bawah seurat, seraja sedaulat, seundang sepusaka, seutang sepiutang, terhampar sama- sama kering, terendam sama-sama basah.’ Peribahasa itu menyatakan bahwa semua unsur yang ada dalam satu kelompok atau organisasi harus bersatu pada setiap kegiatan dan tahapannya, satu tujuan, sama-sama dalam pelaksanaan, bersama-sama dalam menghadapi resiko, dan tentu bersama-sama menikmati hasilnya (salapiak duduak sajamba makan). Setela pemiliu berlalu, mari kembali merajut kerja sama unuk mencapai kejayaan bersama.
*Dosen FIB Universitas Andalas
Tag :#Opini #Didaktika #Minangsatu
Baca Juga Informasi Terbaru MinangSatu di Google News
Ingin Mendapatkan Update Berita Terkini, Ayu Bergabung di Channel Minangsatu.com
-
KIASAN “SENI BERBAHASA HALUS DAN SYARAT MAKNA”
-
PSIKOLOGI HUMANISTIK PADA TOKOH YASUAKI YAMAMOTO DALAM NOVEL “TOTTO-CHAN GADIS KECIL DI PINGGIR JENDELA” KARYA TETSUKO KUROYANAGI
-
OPTIMALISASI PEMELIHARAAN ALAT KESEHATAN UNTUK TINGKATKAN KUALITAS LAYANAN RUMAH SAKIT
-
PENGGUNAAN INTERNET DI INDONESIA MELEBIHI RATA-RATA GLOBAL
-
BIG DATA DALAM PENGELOLAAN PERGURUAN TINGGI DI ERA DIGITAL
-
BERMULA DARI KIAS “KUSUIK SALASAI KARUAH JANIAH” HINGGA BEBERAPA BENTUK TURUNANNYA
-
MELUNCURKAN BUKU ATAU MENUNGGANGI KARYA?
-
MENGENANG BUNG HATTA SANG PROKLAMATOR, PADA PERINGATAN 80 TAHUN INDONESIA MERDEKA
-
KIASAN “SENI BERBAHASA HALUS DAN SYARAT MAKNA”
-
MENGAPA MEMILIH HENDRY CH BANGUN ?